Sr. Egidia SFD bersama dengan Sr. Lidwien SFD mantan dosen Bahasa Jawa di Novisiat Yogyakarta. (Dokumen Pribadi) |
Akal pikiranku pun merambat, sudah
saatnya mereka mencecap kebahagiaan, kedamaian dan perhatian sehingga mereka at home tinggal di biara guna menikmati masa-masa
indah sisa hidupnya. Dan bila tiba saatnya Tuhan memanggil, dengan jiwa tenang
dan damai mereka siap menghadap Tuhan Yang Kuasa. Tentu pada masa mudanya,
mereka sudah berpeluh keringat berjuang melanjutkan karya misi Allah demi
kerajaan-Nya dan juga demi Kongregasi. Namun kini, karena termakan oleh usia
yang semakin senja dan dibarengi oleh sakit penyakit, mereka sudah tidak mampu
berkarya.
Entah mengapa menyaksikan semua itu, pikiranku
sampai pada Bangsa Indonesia yang beberapa
hari lagi akan merayakan Hari Kemerdekaan dan satu tahun lagi akan merayakan
pesta demograsi rakyat menyambut Presiden terpilih. Mungkin saja pikiranku
terganggu karena dari luar tembok biara sayup-sayup terdengar bunyi drum band anak SD.
Usia kemerdekaan Indonesia genap 73
tahun, sama dengan usia susterku yang sudah sepuh, bahkan ada yang sudah 83
tahun. Muncul pertanyaan dalam benakku, sudahkah warga Indonesia merasakan
keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan yang merata di bumi pertiwi sama seperti
Susterku yang sepuh itu?
Indonesiaku di usia 73
tahun
Kemerdekaan Indonesia sudah memasuki
usia yang ke 73, usia di mana seorang
manusia masuk dalam fase usia lanjut ( lansia ). Pemazmur mengatakan
bahwa batas umur manusia 70 tahun dan jika kuat 80 tahun. Dan kini usia RI
sudah 73 tahun. Usia 73 tahun merupakan usia yang cukup dewasa bagi negeri ini untuk
merefleksikan, mengisi dan mempertahankan kemerdekaan.
Bung Karno pernah mengatakan bahwa perjuangan
melawan penjajah lebih mudah dibanding dengan perjuangan melawan saudara
sebangsa. Tidak bisa dipungkiri, kekhawatiran Bung Karno terjadi saat ini, isu SARA
dan Ormas ditempuh untuk kepentingan politik dan agama sehingga bangsa
mengalami keterpecahan. Tahun politik semakin memanas. Sang Saka Merah Putih
menitikkan air mata menyaksikan semua itu, ada pihak yang masih kurang puas
dengan kinerja pemimpin yang menurut hematku sangat luar biasa. Ada pihak yang
kecewa oleh karena kecewa dengan kenyataan bahwa dia kurang mampu atau terlalu
ambisi.
Untuk itu sudah waktunya kaum muda
bangsa bergerak bersama merebut ketenangan jiwa bumi pertiwi ini. Sudah
waktunya diusianya ini, bumi pertiwi Indonesia mengalami kesejahteraan dan
kedamaian. Sebagaimana Para Suster muda berusaha memberikan pelayanan yang
terbaik kepada suster sepuh, saatnyalah kita bangun dan bangkit memperjuangkan kebhinekaan/ keberagaman dan
perbedaan pendapat sehingga pada perayaan 100 tahun nanti seluruh bangsa dapat
menikmati kemajuan. Caranya tidak perlu susah-susah, cukup dengan mengisi
kemerdekaan dalam hal sederhana sesuai dengan tanggung jawab kita masing-masing.
Dengan tidak membuat onar dan menyusahkan orang lain juga sebuah bentuk rasa
kecintaan kita terhadap tanah air ini.
Kemerdekaan bantin
Kemerdekaan bantin
Berbicara dengan peristiwa kemerdekaan,
saya teringat dengan perjuangan Bangsa Israel keluar dari perbudakan Mesir
dalam Perjanjian Lama. Dengan diangkatnya tongkat Harun tinggi-tinggi membawa
berkat dan muzijat bagi Bangsa Israel tetapi tulah bagi Bangsa Mesir. Demikian
juga sebaliknya, apabila tongkat Harun diturunkan maka kekalahan ada di pihak
Israel. Tongkat disini menurutku ibarat
bendera Merah Putih bagi bangsa Indonesia. Berkat perjuangan para Pahlawan,
Sang Saka Merah Putih berhasil dikibarkan hingga sekarang.
Sedangkan bagiku, tongkat dan bendera
merupakan simbol salib kebanggaan yang harus ditinggikan. Sedikit saja lengah
maka setan akan datang dengan menawarkan kenikmatan semu yang dapat meruntuhkan
salib kemenangan kita.
Saya jadi teringat dengan tokoh idola
saya yaitu St. Fransiskus dari Assisi, yang kebetulan pada hari retret ini kami
geluti bersama. Hal yang mendominasi kehidupannya adalah renungan tentang
sengsara Yesus. Sambil bercucuan air mata ia masuk dalam kontemplasi salib. Dia
ingin merasakan penderitaan Yesus, sehingga dia dianugerahi 5 tanda luka Yesus
di kayu Salib.
Dari teladan St. Fransiskus mengajari
saya untuk bangga dengan salib kita masing-masing, karena dengan salib inilah
kita mengalami kemerdekaan batin. Kita dapat meletakkan semua pergumulan kita
dibawah kaki salib Yesus dan Dia sanggup membawa pembebasan bagi kita.
Yahh….kita harus menumbuhkan semangat juang yang berbenderakan Merah Putih. Dalam
arti selalu siap mengangkat bendera salib tinggi-tinggi dan tidak akan
melepaskan hingga titik darah penghabisan.
Dengan kekuatan salib segala ketakutan, derita dan godaan dapat diatasi.
SALAM MERDEKA
( Sr. Giovani Purba )